Unsur Ekstrinsik Dalam Novel Lolita [Lolita 5]


lolitaHumbert memiliki perilaku seksual yang di luar kebiasaan umumnya, yaitu terobsesi pada gadis kecil. Perilaku seksual ini disebut dengan pedofilia, sedangkan pelakunya disebut dengan pedofil. Obsesi dan kecintaan Humbert terhadap gadis kecil yang dia sebut nymphet—peri asmara, berawal dari meninggalnya Annabel, kekasih Humbert saat masih remaja. Begitu berkesan dan kuatnya perasaan yang dimiliki oleh Humbert saat menikmati gairah bersama Annabel, sehingga membuat dia terus memupuk perasaan tersebut hingga dia dewasa. Hal tersebut agar dia tetap dapat merasakan perasaan yang sama ketika saat bersama dengan Annabel. Jelas sekali bahwa perasaan dan perilaku tersebut disadari oleh Humbert.

Humbert selalu bergairah setiap kali melihat gadis-gadis kecil dengan kepolosan mereka dan seringkali dia membayar gadis kecil untuk berhubungan dengannya agar merasakan perasaan yang memuaskan dan gairah-gairah yang dulu pernah dia rasakan. Begitu pula saat dia berkencan dengan Monique, gadis yang beranjak dewasa saat masih di Paris, sedangkan dia tidak merasakan perasaan yang luar biasa setiap kali berhubungan dengan perempuan dewasa. Suatu ketika, Humbert menemukan kesempurnaan peri asmara pada diri seorang gadis kecil yang bernama Lolita.

Dalam Lolita, tidak diceritakan secara spesifik bagaimana perasaan Humbert ketika berpindah tempat. misalnya ketika dia diberi wasiat oleh pamannya untuk meneruskan usaha pamannya itu dengan berpindah dari Paris ke New York, Amerika Serikat. Lalu dengan alasan berkonsentrasi dalam menulis, setelah pulang dari rumah sakit, Humbert pindah ke daerah pedalaman New England, dan tak lama kemudian dia menetap di sebuah kota kecil bernama Ramsdale, tempat kelak dia bertemu dengan Lolita. Tinggal di Ramsdale pun hanya kurang dari dua tahun, karena setelah itu, Humbert berkelana berkeliling negara bagian di Amerika Serikat bersama dengan Lolita.

Bagi Humbert, menetap di suatu tempat sama saja dengan di penjara. Hal ini sesuai dengan pendapat Deleuze dan Guattari mengenai nomadic subjectivity ‘subjektivitas nomad’, bahwa hidup nomad adalah pilihan sebagai bagian dari sikap yang menentang kenyamanan dan kemapanan di tengah masyarakat. Hal ini tercermin pula dalam beberapa tulisan Nabokov, sang pengarang Lolita, di mana dia berbicara mengenai berbagai macam penjara, yaitu penjara politik, psikologi, sosial, dan personal.

Di bawah tekanan komunitas manusia, dia sebagai imigran berjuang memenuhi keinginannya dan menjadi ‘nomad’ yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain sampai masuk ke dalam fase dislokasi keinginan. Hal tersebut dia lakukan untuk melarikan diri dari masyarakat. Bagi Humbert, nomad atau berpindah berarti mengasingkan diri dari sistem sosial.

Humbert yang memiliki kekasih yang sangat muda namun tak bisa dia perlakukan layaknya kekasih umumnya karena perbedaan usia mereka dan ketakutan Humbert akan pandangan masyarakat, sehingga membuat Humbert tertekan dan sempat dirawat oleh psikiater hingga masuk ke rumah sakit (sanatorium).

Humbert yang menyukai Lolita sebagai penggambaran dari Annabel, bertekad untuk melindunginya dan bersikap sopan kepadanya selayaknya kepada seorang perempuan, sehingga dia tidak ingin mendapatkan kesan negatif dari Lolita. Humbert yang terpelajar dan dari kalangan menengah ke atas, menerima kesalahan dirinya. Humbert menulis memoar dan berharap memoar tersebut dapat dipublikasikan setelah Dolly Schiller, atau Dolores ‘Lolita’ Haze meninggal dunia. Hal tersebut agar pandangan Lolita terhadap Humbert tidak berubah sebagai seseorang yang penting dan menyayangi Lolita sepenuh hati.

Pikiran Humbert yang tampak di atas menjelaskan bahwa Humbert tetap menyukai Annabel, tetapi dalam bentuk fisik yang lain. Dari segi skizoanalisis, keinginannya terhadap Lolita merupakan bentuk dari dislokasi keinginan antara tendensi skizofrenik dan tendensi paranoid. Yakni antara obsesinya terhadap gadis kecil bernama Annabel, dia pindahkan kepada Lolita, dan kesempatan yang didapat saat bersama Lolita dengan berpura-pura menjadi ayahnya karena pandangan masyarakat yang masih melihat bahwa hubungan antara laki-laki yang sudah tua dengan anak kecil itu adalah suatu perilaku yang menyimpang.

Dislokasi keinginan ini pun terjadi ketika Humbert melakukan hubungan dengan Valeria dan Charlotte. Bahkan ketika menikah dengan Valeria, alasan utama dia menikah selain untuk menutupi perilaku dia yang menyukai anak kecil, dia melihat pada diri Valeria terdapat diri seorang gadis kecil yang kekanak-kanakan. Saat malam pertama, Humbert nekat mencuri gaun tidur remaja dari sebuah panti asuhan untuk dikenakan Valeria hanya agar ia terlihat seperti gadis kecil. Sedangkan saat bersama dengan Charlotte, Humbert melihat foto Charlotte ketika masih anak-anak dan membayangkan bahwa Charlotte yang seumuran Lolita-lah yang ada bersama dirinya saat itu.

Meski begitu, terlihat dalam kutipan-kutipan berikut ini bagaimana posesif dan paranoianya seorang Humbert dengan pikiran-pikirannya, antara keinginan yang satu dengan keinginan yang lain.

Sementara Humbert si Kacau berdebat dengan Humbert si Kecil apakah Humbert Humbert sebaiknya membunuh Valeria atau membunuh kekasihnya, atau membunuh keduanya, atau justru tidak membunuh kedua-duanya.’

 ‘Tidak, rupanya, aku tak bisa melanjutkan. Hati, kepala—semuanya. Semua buruk. Lolita, Lolita, Lolita, Lolita, Lolita, Lolita, Lolita, Lolita, Lolita..’

 ‘Dan dia adalah milikku. Milikku. Kuncinya ada dalam kepalan tanganku, kepalan tanganku ada dalam sakuku. Milikku.’

 Dalam perjalanannya dia merasa diikuti oleh seorang nympholept seperti dia sendiri, yaitu Clare Quilty. Berdasarkan pengakuan Humbert, Sosok dan kepribadian Quilty berbanding terbalik dengan kepribadian Humbert. Meskipun Humbert mengaku bahwa dia telah membunuh Quilty, itu hanyalah alasan sepihak dirinya tanpa bisa dibuktikan apakah seseorang yang bernama Quilty itu adalah orang yang telah dia bunuh ataukah hanya sosok ilusi dari sisi lain seorang Humbert. Bisa dikatakan bahwa Clare Quilty adalah Clearly Guilty ‘perasaan bersalah yang amat sangat’, yang merupakan wujud dari hati sanubari Humbert yang selalu diliputi perasaan bersalah. Berdasarkan teori Deleuze dan Guattari, apa yang dialami oleh Humbert ini merupakan skizofrenia keinginan.

Di Breadsley, Lolita bersekolah di sekolah elit perempuan yang modern yang menurut Humbert akan menjaga Lolita dengan baik. Namun Humbert tak menyadari bahwa program di tempat itu, tidak sesuai dengan harapan dan pandangan Humbert, yaitu Humbert menginginkan didikan yang dikhususkan untuk perempuan seperti sopan santun, buku-buku yang berisi aturan-aturan, dan segala hal yang sekiranya dapat menjauhkan Lolita dari para lelaki asing.

Selama di Breadsley, Humbert dan Lolita tinggal di sebuah rumah dekat dengan sekolah Lolita, di mana para tetangga di sana memiliki hubungan yang sangat baik di antara sesamanya. Humbert dengan cepat dapat bersosialisasi dengan mereka, meskipun Humbert menganggap dirinya adalah seorang tetangga yang penyendiri. Bagaimana pun Humbert adalah seorang laki-laki Eropa yang santun dan sopan, tetapi tetap saja dia mengalami cultural shock saat hidup di Amerika. Humbert harus beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada di negeri asing meskipun hal tersebut cukup menyulitkan dirinya karena dia adalah pemegang adat-istiadat dan norma Eropa yang kuat.

Menurut Humbert, Charlotte adalah tipe perempuan gambaran masyarakat yang kaku, memaksakan diri untuk bersikap sopan, dan berpikiran kolot. Ada sebuah fenomena di mana para gadis merasa kurang cantik dan perlu menambahkan kecantikan tersebut dengan berbagai cara setelah mereka dewasa. Hal tersebut agar mereka dapat dipandang menarik dan cantik oleh orang-orang di sekitarnya.

Humbert menjelaskan bahwa zamannya adalah zaman pencerahan di mana hal-hal klasik dan tradisional tak lagi mendapat tempat. Pada zaman ini hidup harus modern, berpengetahuan, dan rasional. Namun pada zaman pencerahan ini, Humbert melihat bahwa masyarakat dengan pandangannya masih menganggap pedofilia adalah perilaku menyimpang secara seksual.

Ketika Humbert dan Annabel saling jatuh cinta, hubungan mereka tidak diketahui oleh orang tua. Oleh karena usia mereka yang masih muda dan sebagai orang yang berasal dari kalangan kaya dan terhormat, tingkah laku dan sikap akan selalu diperhatikan dan dilihat orang. Maka, tak ada pilihan lain bagi Humbert dan Annabel selain dengan bertemu secara diam-diam. Di sisi lain, status yang melekat membuat Humbert dan Annabel merasa iri kepada anak-anak seumuran berbeda strata yang dapat dengan bebas melakukan apa pun yang disukai.

Dalam novel ini, Nabokov tidak hanya menceritakan sisi-sisi sebuah kehidupan berumah tangga, yang tergambar dalam beberapa karakter pasangan. Melainkan juga, Lolita merupakan gambaran mental yang melekat pada masyarakat kelas menengah.

Selama dua tahun Humbert berkeliling Amerika bersama seorang peminum bernama Rita. Sedangkan dari pemaparan Humbert dalam kutipan yang kedua, kita dapat melihat bahwa Humbert adalah sosok yang konservatif dengan mengagungkan nilai-nilai kesopanan dan etika apalagi sebagai seorang perempuan sehingga tergambar rasa kaget dalam diri Humbert apa yang terjadi pada Lolita setelah lepas dari Humbert, memiliki kebiasaan baru yaitu merokok, bahkan ketika dirinya sedang hamil.

Humbert pernah menjalani terapi psikologi dan dirawat di sanatorium. Hal itu dia lakukan karena dia menyadari ada hal yang di luar kebiasaan masyarakat umumnya, yakni obsesinya terhadap gadis kecil dan dia mengakui bahwa dirinya seorang pedofil. Dia pun menyadari bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang tabu, abnormal, dan amoral dalam pandangan masyarakat dan membuat Humbert merasa tidak nyaman dengan perasaannya sendiri meskipun seringkali hasratnya lah yang lebih berkuasa dibandingkan norma masyarakat.

Kadang Humbert berkeinginan untuk bertahan dalam kondisi mental yang turun dan mencari aman dengan berlaku normal sebagaimana masyarakat umumnya menerima. Salah satu cara tersebut yang dinamakan dislokasi keinginan, seperti kutipan di bawah ini yang mana Humbert menikah dengan seorang wanita yang sebenarnya tidak dia sukai dengan harapan bahwa dia dapat menjalani hidup normal seperti masyarakat umumnya. Pilihan Humbert jatuh kepada Valeria bukan karena dia cantik atau tipe perempuan berpenampilan mewah, walaupun Humbert sendiri seorang laki-laki terhormat yang tampan, namun lebih karena pertimbangan-pertimbangan yang menunjukkan bahwa seorang Humbert yang menyukai gadis belia tidak mengetahui ukuran standar seorang laki-laki dewasa dalam memilih pasangan yang sepadan.

Meski begitu, pernikahan tidak menjadikan dia lebih baik. Keadaan tersebut semakin membuat sang tokoh utama diliputi keresahan dan kegelisahan. Antara keinginannya dan pandangan masyarakat, terdapat kesenjangan yang membuat Humbert merasa dalam ‘penjara’ sosial.

Dalam pengakuan-pengakuannya, Humbert membuat kesan seolah-olah dia adalah korban dari kondisi sosial yang sudah rusak. Dia yang konservatif mempertahankan keberadaan dan pemikiran kolotnya di tengah masyarakat yang mengagungkan modernitas. Hal tersebut terlihat dalam suatu adegan di mana Charlotte Haze, tanpa mempertimbangkan dirinya yang sudah menjadi suaminya, melakukan keputusan-keputusan secara sepihak tentang sesuatu hal. Tentu saja hal tersebut membuat Humbert marah karena merasa dirinya sebagai kepala rumah tangga tidak dianggap.

Nabokov menciptakan karakter Humbert dengan begitu manusiawi. Humbert tahu bahwa akan ada penghakiman moral terhadap dirinya yang melakukan perbuatan pedofilia dan tabu masyarakat, lantas dia membuat pengakuan dengan melihat sisi lain dari perbuatan amoralnya, yaitu Humbert memperlihatkan bahwa Lolita-lah yang memancing dirinya untuk terus mendekati Lolita. Tingkah laku, sikap, dan tindakan Lolita membuat Humbert begitu bergairah. Hal tersebut memberikan pandangan bahwa setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak kecil sekalipun, bisa menjadi subjek atau pelaku dalam suatu peristiwa atau tindakan.

Penggambaran manusiawi seorang Humbert juga dia jelaskan saat di akhir memoarnya tentang harapannya kepada Lolita dan kehidupannya. Dia memberi nasihat kepada Lolita agar jangan sembarangan menerima laki-laki untuk menyentuhnya dan Lolita harus setia kepada Dick, suaminya.

Makna ‘Pedofil’ yang sebenarnya adalah mencerminkan keinginan manusia dan perjuangannya menghindar dari tekanan yang tampak, yaitu tuntutan-tuntutan dari masyarakat untuk ‘bermoral’. Menurut Deleuze dan Guattari, Humbert hendak lari dari apa yang disebut oleh Freud dengan psikoanalisisnya, mereka menganggap bahwa Freud menetralisasi segala sesuatu yang ada di bawah sadar. Pada fakta dalam cerita Lolita, Humbert tidak dekat dengan orangtuanya dan lebih banyak diasuh oleh bibinya, dia menikmati tidak memiliki ibu, dan tidak dijelaskan kapan ayahnya meninggal sehingga entah sejak kapan Humbert menjadi yatim piatu.

Cerita Lolita ini memang memoar tentang pengakuan seorang pengarang fiktif yang menurut dirinya sendiri telah berbuat kriminal dengan membunuh dan melarikan seorang gadis kecil dengan mengembara dari negara satu ke negara yang lain di Amerika Serikat. Namun dalam pengantar yang ditulis oleh Ray, editor memoarnya yang diterbitkan 1955, dia tak pernah mengatakan kejahatan apa yang pernah dilakukan oleh sang pengarang—dalam hal ini Humbert sang narator. Dalam artian bahwa sebenarnya tidak jelas alasan Humbert di penjara, sedangkan pengakuannya sendiri dalam ceritanya itu hanyalah pengakuan tentang perjalanannya dalam memburu cintanya. Alasan awal Humbert di penjara adalah karena dia melanggar aturan lalu lintas yang dia ceritakan di beberapa lembar terakhir tulisannya.

Nabokov melalui Lolita ingin menjelaskan bahwa perilaku menyimpang terutama dalam hal perilaku seksual, ada dan nyata dalam kehidupan kita. Hal tersebut berdasarkan tulisan pengantar dari Ray, tokoh fiktif yang menerbitkan pengakuan Humbert ini. Dalam pengantar memoar tersebut, Ray menulis bahwa tak ada satupun istilah cabul yang ditemukan dalam keseluruhan karya ini sesuai dengan zaman modern yang sedang dijalani. Novel ini merupakan novel tragik-komedi dengan nada satir yang dinarasikan oleh Humbert, seorang terpelajar dan terhormat yang berakhir dengan kematiannya di penjara. Ray menyatakan bahwa Humbert memang seorang penderita penyakit moral, tetapi Ray setuju dengan pendapat Humbert mengenai orang-orang dan peristiwa-peristiwa di negeri ini yang terasa menggelikan. Ray berharap bahwa para pembaca dapat mencermati pelajaran tersembunyi bagi semua orang. Yaitu bahwa kondisi tersebut memang terjadi dalam kehidupan kita dan sudah saatnya masyarakat menerima hal tersebut sebagai salah satu gejala perkembangan manusia dan masyarakat.

Dari paparan analisis yang telah dilakukan, jelas bahwa Humbert merupakan tokoh utama dengan karakter yang berbanding terbalik dengan kondisi sosial masyarakatnya. Bentukan nyata dalam diri Humbert adalah menentang secara halus dengan berperilaku di luar norma masyarkat seperti berperilaku pedofil dan hidup nomad sebagai bentuk dari protes mengenai kekangan norma masyarakat di zaman modern.

Nabokov dengan Lolita-nya ini, menawarkan cara pandang baru yang segar terhadap generasi ke generasi dalam menginterpretasikan novelnya tersebut. Isu yang diambil oleh Nabokov yakni tentang perilaku menyimpang sangat relevan dalam setiap zaman dari mula diterbitkannya novel tersebut sampai dengan saat ini ketika penelitian ini dilakukan. Dengan demikian, Nabokov mampu merangkai cerita Lolita hingga dapat dikatakan bahwa novel ini melampaui zamannya dalam menceritakan kondisi sosial masyarakat dalam berbagai generasi.

 

 

Skizoanalisis Deleuze & Guattari [Lolita 2]


“Hasrat ada di mana-mana. Hasrat tidak pernah benar-benar ditaklukkan. kehadiran hasrat pada realitas sosial dan diri tidak bisa direpresi. Pengebirian terhadap hasrat hanya akan menyuburkan kelahiran hasrat dalam jumlah yang lebih banyak lagi.” (Giller Deleuze & Felix Guattari)

        Filsafat menganaktirikan dan menempatkan hasrat sebagai ‘anak yang hilang’ dengan menaklukan hasrat di bawah superioritas rasio. Rasio lalu menjadi penentu eksistensi manusia pada wilayah sosial dan menjadi ‘dewa’ sejarah rasionalisasi. Sementara, sikap indiferen filsafat terhadap hasrat berdampak pada definisi yang peyoratif terhadap hasrat itu sendiri sehingga hanya sebagai entitas “pelengkap” bagi kebutuhan rasio. Hasrat hanya “sekadar ada” sebagai bagian dari komposisi self, tetapi bukan penentu proses berpikir dan tindakan etis (cara bereksistensi) manusia. Sehingga baik filsafat maupun psikologi sama-sama mengeksplorasi hasrat dalam kerangka berpikir rasionalisasi. (Hartono, 2007: 33)

         Deleuze dan Guattari adalah filsuf dan psikolog yang mengikuti jalur nietzschean. Dalam kerangka Nietzschean, Deleuze dan Guattari mengadili rasio dengan menghadirkan kembali hasrat ke wacana diskursus. Penghadiran kembali hasrat sebenarnya adalah penegasan terhadap kehadiran hasrat dalam realitas yang selama berlangsungnya sejarah rasionalisasi diabaikan begitu saja. Bagi Deleuze dan Guattari, hasrat ada di mana-mana. Hal ini terlepas dari esensi hasrat sebagai ruh yang selalu bergerak melampaui ruang dan waktu, juga ruang waktu milik struktur-struktur sosial.

          Pada intinya, rasio dan hasrat adalah anak kandung dari rahim yang sama dan menjadi alter ego satu sama lain di wilayah sosial. Sehingga, hal ini berimplikasi pada dua konsekuensi. Pertama, cara pandang hasrat berubah dari das sollen (yang terjadi) menjadi das sein (yang sebenarnya) dan kedua, eksternalisasi atau pengejawantahan hasrat pada kesadaran atau wilayah sosial terjadi tanpa mediasi atau filterisasi, dengan kata lain subjek harus menjadi orang “gila” atau skizofrenik yang tak pernah merekam imaji sosial dalam dirinya. Selain itu, hasrat didefinisikan sebagai mesin produktif yang selalu menghasilkan aliran-aliran yang disebut sebagai aliran skizofrenik hasrat. Ciri skizofrenik atau ke-”ruh”-an hasrat memiliki beberapa konsekuensi logis:

               1. Pada level individu, hasrat skizofrenik membongkar segala identitas bentukan sosial yang opaque dalam diri dan menawarkan cara berada baru, yaitu membentuk subjek-subjek fasisme: tubuh-tubuh nomadik. Tubuh-tubuh nomadik ditandai dengan proses migrasi manusia tanpa henti dari eksistensi yang satu ke eksistensi yang lain. Dengan kata lain, tubuh nomadik adalah diri yang berada dalam posisi transisional dan selalu berproses.

        2. Pada level makro, hasrat skizofrenik mengandung potensi revolusioner dan siap menumbangkan segala tatanan sosial yang ada. Penghancuran tatanan sosial adalah cara untuk membebaskan gerakan hasrat skizofrenik. Sebab, hasrat skizofrenik pada dasarnya selalu mengeksternalisasikan diri tanpa mengenal kriteria pembatas sosial apapun.    

       Maka, tawaran mereka adalah menjalani hidup “abnormal” dari pandangan kenormalan sosial. 

deleuze_and_guattari_by_haruka

referensi buku: Skizoanalisis Deleuze+Guattari, Penulis: Agustinus Hartono, Penerbit Jalasutra.